Pendahuluan
Dalam menjalankan suatu bisnis, pasti tidak pernah lepas dari risiko kegagalan pihak lainnya dalam melaksanakan kewajibannya, terutama terkait kewajiban finansial. Sebagai contoh, kegagalan debitor dalam membayar kewajiban cicilan pembayaran utang kepada kreditor.

Berdasarkan hukum dan peraturan perundang-undangan di Indonesia, terdapat instrumen hukum yang dapat diambil oleh kreditor untuk menagih kewajiban finansial yang terutang dari debitornya, baik yang belum dilaksanakan atau sepenuhnya dibayarkan oleh debitor, yakni Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (“PKPU”). Dari sisi debitor, PKPU dapat menjadi solusi untuk restrukturisasi utang yang dimilikinya terhadap pihak lain, karena debitor, berdasarkan Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan PKPU (“UU Kepailitan dan PKPU”), dapat pula mengajukan permohonan PKPU atas dirinya.1

Lebih lanjut, dalam hal pengadilan niaga mengabulkan permohonan PKPU tersebut dan menetapkan bahwa debitor dalam PKPU sementara serta menunjuk seorang hakim pengawas dan tim pengurus, debitor, berdasarkan UU Kepailitan dan PKPU, wajib memberikan rencana perdamaian kepada para kreditor yang utangnya telah diverifikasi oleh tim pengurus dalam suatu daftar tagihan tetap.

Pada tanggal 13 Maret 2024, Badan Litbang Diklat Hukum dan Peradilan Mahkamah Agung Republik Indonesia mengeluarkan Landmark Decisions 2023, yang merupakan kompilasi dari putusan-putusan periode sebelumnya yang mencakup beberapa aspek hukum dari lintas-sektor litigasi di Indonesia, termasuk kepailitan dan PKPU.2

Suatu kaidah hukum baru terkait dengan kepailitan dan PKPU diperkenalkan dalam Landmark Decisions 2023, yang mana akan dijelaskan dan dibahas lebih lanjut oleh penulis dalam artikel ini.

 

Pembahasan

  1. PKPU secara umum berdasarkan UU Kepailitan dan PKPU
    Secara umum, PKPU diatur dalam UU Kepailitan dan PKPU, khususnya Bab III, mulai dari Pasal 222 sampai dengan Pasal 294.3

    Tujuan
    Tujuan pengajuan PKPU adalah untuk mengajukan rencana perdamaian yang meliputi tawaran pembayaran sebagian atau seluruh utang kepada kreditor, baik kreditor konkuren maupun kreditor preferen.4

    Pemohon PKPU
    UU Kepailitan dan PKPU mengatur terkait siapa saja yang berwenang mengajukan permohonan PKPU, antara lain:

    • Debitor itu sendiri; dan
    • Kreditor;

    Dalam hal debitor adalah:

    • bank, permohonan PKPU hanya dapat diajukan oleh Bank Indonesia;5
    • perusahaan efek, bursa efek, lembaga kliring dan penjaminan, lembaga penyimpanan dan penyelesaian, permohonan PKPU hanya dapat diajukan oleh Badan Pengawas Pasar Modal (sekarang Otoritas Jasa Keuangan (OJK))6; and
    • perusahaan asuransi, perusahaan reasuransi, dana pensiun, atau badan usaha milik negara yang bergerak di bidang kepentingan publik, permohonan PKPU hanya dapat diajukan oleh Menteri Keuangan.7

    Unsur-Unsur PKPU
    Dalam memutuskan terkait permohonan PKPU, majelis hakim biasanya bergantung pada apakah permohonan yang diajukan oleh baik para kreditor atau debitor telah memenuhi unsur-unsur sebagai berikut:

    • 2 (dua) kreditor atau lebih8;
    • utang yang sudah jatuh waktu dan dapat ditagih9; dan
    • dapat dibuktikan dengan sederhana10.

    Daftar Tagihan Tetap dan Rencana Perdamaian
    Setelah adanya putusan pengadilan niaga yang menetapkan debitor dalam PKPU sementara dan menunjuk seorang hakim pengawas dan tim pengurus, tim pengurus akan segera menentukan batas waktu bagi para kreditor untuk mengajukan tagihan (termasuk namun tidak terbatas pada bunga dan denda keterlambatan (jika ada)) kepada debitor (dalam PKPU) melalui tim pengurus.11

    Lebih lanjut, tagihan tersebut akan diverifikasi berdasarkan catatan dan laporan dari debitor (dalam PKPU) dan pada akhirnya, tim pengurus akan menerbitkan daftar tagihan tetap dan salinan dari daftar tersebut diserahkan kepada kepaniteraan pengadilan.12

    Setelah itu, debitor (dalam PKPU) harus mempersiapkan rencana perdamaian yang harus diberikan kepada para kreditor untuk dibahas dan dilakukan pemungutan suara dalam suatu rapat para kreditor dalam jangka waktu 270 (dua ratus tujuh puluh) hari berdasarkan penjelasan Pasal 230 UU Kepailitan dan PKPU.13 Selanjutnya, pengadilan niaga akan mengeluarkan putusan terkait pengesahan perdamaian apakah perdamaian tersebut diterima atau ditolak disertai alasan-alasannya pada suatu sidang.

    Jika perdamaian ditolak maka dalam putusan tersebut pengadilan niaga akan menetapkan bahwa debitor pailit.14 Sementara itu, apabila perdamaian disetujui, perdamaian tersebut mengikat semua kreditor kecuali kreditor yang tidak menyetujui rencana perdamaian dalam pemungutan suara.15

  2. Kaidah Hukum Baru terkait PKPU berdasarkan Landmark Decisions 2023
    Dalam Landmark Decisions 2023, khususnya pada Bagian Kamar Perdata, Mahkamah Agung memperkenalkan suatu kaidah hukum baru sehubungan dengan kepailitan dan PKPU dengan memasukkan pertimbangan hukum Mahkamah Agung dalam Putusan Mahkamah Agung No. 1262 K/Pdt.Sus-Pailit/2022 dalam perkara antara Yayasan Rumah Sakit Sandi Karsa selaku Pemohon Kasasi (dahulu, Termohon PKPU/Debitor) melawan PT Mulya Husada Jaya selaku Termohon Kasasi (dahulu, Pemohon PKPU/Kreditor).16

    Kasus Posisi17
    Termohon Kasasi (dahulu Pemohon PKPU/Kreditor) telah mengajukan permohonan PKPU terhadap Yayasan Rumah Sakit Sandi Karsa di Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Makassar (“Pengadilan Niaga Makassar”), di mana Pengadilan Niaga Makassar telah mengeluarkan Putusan No. 1/Pdt.Sus-PKPU/2021/PN Niaga Mks tertanggal 24 Maret 2022 yang menetapkan PKPU sementara atas Pemohon Kasasi (dahulu Termohon PKPU/Debitor).

    Bahwa sampai dengan batas akhir pendaftaran, yakni tanggal 12 April 2022 dan berdasarkan Rapat Pencocokan Tagihan tanggal 19 April 2022, diperoleh Daftar Tagihan Tetap yang hanya memuat 2 (dua) kreditor konkuren, yaitu PT Mulya Husada Jaya (Termohon Kasasi) dan PT Internusa Dua Medika.

    Lebih lanjut, dalam rapat tersebut, para kreditor menolak rencana perdamaian yang diajukan oleh Pemohon Kasasi (dahulu Termohon PKPU/Debitor) karena para kreditor berpandangan bahwa rencana perdamaian tersebut hanya memuat tagihan pokok, sementara rencana pembayaran tagihan denda tidak dimasukkan di dalamnya.

    Terhadap penolakan tersebut, Pemohon Kasasi (dahulu Termohon PKPU/Debitor) menyampaikan bahwa selain pembayaran tagihan pokok, sebagian tagihan denda sebesar Rp200.000.000 (dua ratus juta Rupiah) juga akan diakomodir.

    Namun demikian, Pengadilan Niaga Makassar mengeluarkan Putusan No. 1/Pdt.Sus-PKPU/2022/PN Niaga Mks tanggal 23 Mei 2022 (“Putusan Judex Factie”), dengan amar, salah satunya bahwa Termohon PKPU (Yayasan Rumah Sakit Sandi Karsa) dinyatakan pailit dengan segala hukumnya.

    Atas Putusan Judex Factie, Pemohon Kasasi (dahulu Termohon PKPU/Debitor) mengajukan permohonan kasasi. Pada akhirnya, Mahkamah Agung melalui Putusan No. 1262 K/Pdt.Sus-Pailit/2022 menyatakan bahwa Pemohon Kasasi (Yayasan Rumah Sakit Sandi Karsa) dinyatakan tidak pailit.

    Pertimbangan Hukum Mahkamah Agung
    Mahkamah Agung dalam pertimbangan hukumnya menyatakan sebagai berikut:18

    “Bahwa Debitor menyatakan terjadinya keterlambatan pembayaran utang terhadap Para Kreditor disebabkan oleh karena pandemi Covid-19 telah mengakibatkan usaha jasa rumah sakit Debitor tidak berjalan dengan baik, bahkan mengalami kerugian besar. Walaupun demikian Debitor menyatakan masih dalam keadaan mampu membayar (solven) dan tidak dalam keadaan tidak mampu membayar (insolvensi). Selain itu, Debitor mempunyai iktikad baik untuk menyelesaikan utang pokoknya dan menyanggupi untuk melunasi utang pokok pada bulan April 2022;”

    “Bahwa berdasarkan alasan tersebut di atas, maka seharusnya terhadap Debitor dapat diberikan kesempatan untuk melanjutkan usaha (going concern), apalagi berdasarkan filosofi Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, pengajuan permohonan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) oleh Kreditor dimaksudkan untuk memberikan kesempatan kepada Debitor untuk mengajukan rencana perdamaian, akan tetapi dalam perkara a quo, setelah Debitor mengajukan rencana perdamaian, ternyata ditolak oleh Para Kreditor. Hal mana menunjukkan bahwa niat atau tujuan sejak awal dari Kreditor dalam mengajukan Permohonan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) terhadap Debitor bukan untuk mempertimbangkan dan menyetujui rencana perdamaian, akan tetapi untuk mempailitkan Debitor;”

    “…bahwa karena Debitor Yayasan Rumah Sakit Sandi Karsa adalah Yayasan yang bergerak atau menyelenggarakan usaha rumah sakit, yang berdasarkan Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit pada Pasal 2 dan Pasal 29 dinyatakan bahwa Rumah Sakit menyelenggarakan pelayanan kesehatan didasarkan kepada nilai kemanusiaan dan mempunyai fungsi sosial di antaranya memberikan fasilitas pelayanan pasien tidak mampu/miskin, pelayanan gawat darurat tanpa uang muka, ambulan gratis, pelayanan korban bencana dan kejadian luar biasa, dan/atau bakti sosial lainnya, sehingga penyelenggaraan usaha rumah sakit tidak semata-mata mencari keuntungan, lebih pada usaha kemanusiaan, maka seharusnya diberikan kesempatan kepada Debitor untuk melanjutkan usaha agar dapat melaksanakan kewajibannya kepada Para Kreditornya, oleh karena itu terhadap Debitor yang menyelenggarakan usaha rumah sakit tidak dipailitkan;”19

    Kaidah Hukum Baru
    Berangkat dari pertimbangan hukum tersebut, muncul kaidah hukum baru yang dapat diperhatikan maupun dipertimbangkan oleh hakim dalam mengeluarkan putusan terkait pengesahan rencana perdamaian yang diajukan oleh debitor (dalam PKPU) sebagai berikut:

    • Kesempatan debitor untuk melanjutkan usaha (going concern);
    • Niat dan tujuan awal kreditor dalam mengajukan permohonan PKPU; dan
    • Kondisi debitor masih dalam keadaan mampu membayar (solven) dan tidak dalam keadaan tidak mampu membayar (insolvensi).

    Sehubungan dengan kaidah hukum di atas, Mahkamah Agung juga menyimpulkan bahwa putusan PKPU terkait dengan pengesahan rencana perdamaian yang hanya mendasarkan pada ketidakmampuan membayar (insolvensi) debitor dan tidak mendasarkan pada kesempatan debitor untuk melanjutkan usaha (going concern) maupun niat dan tujuan kreditor mengajukan PKPU, tidak dapat dibenarkan.20

    Jika dihubungkan dengan kasus posisi di atas, terlihat jelas bahwa majelis dalam perkara No. 1262 K/Pdt.Sus-Pailit/2022 menilai bahwa Pemohon Kasasi (dahulu Termohon PKPU/Debitor) yang merupakan suatu yayasan yang bergerak di bidang usaha jasa rumah sakit masih berada dalam keadaan mampu (solven) serta beritikad baik dengan menyanggupi untuk melakukan pelunasan utangnya terhadap para kreditor. Sebaliknya, justru para kreditor-lah yang tidak menunjukkan itikad baiknya dengan menolak rencana perdamaian tersebut, karena memang dari awal niat para kreditor adalah untuk mempailitkan Pemohon Kasasi (dahulu Termohon PKPU/Debitor). Selain itu, Pemohon Kasasi (dahulu Termohon PKPU/Debitor) yang notabene-nya merupakan yayasan di mana didasarkan pada nilai kemanusiaan dan memiliki fungsi sosial, seharusnya diberikan kesempatan untuk tetap menjalankan usahanya untuk melunasi seluruh kewajibannya kepada para kreditor.

  3. Kesimpulan
    PKPU dapat menjadi suatu instrumen hukum bagi para kreditor dalam mengklaim tagihan kepada debitornya. Dari sisi debitor, PKPU dapat menjadi instrumen untuk restrukturisasi utang. Dalam hal pengadilan niaga mengabulkan permohonan PKPU tersebut dan menetapkan bahwa debitor dalam PKPU sementara serta menunjuk seorang hakim pengawas dan tim pengurus, debitor, berdasarkan UU Kepailitan dan PKPU, wajib memberikan rencana perdamaian kepada para kreditor yang utangnya telah diverifikasi oleh tim pengurus dalam suatu daftar tagihan tetap.

    Dalam Putusan No. No. 1262 K/Pdt.Sus-Pailit/2022, Mahkamah Agung memperkenalkan kaidah hukum baru tentang 3 (tiga) unsur yang dapat dipertimbangkan dalam mengeluarkan putusan PKPU terkait pengesahan rencana perdamaian, yakni (i) kesempatan debitor untuk melanjutkan usaha (going concern), (ii) niat dan tujuan awal kreditor dalam mengajukan permohonan PKPU, dan (iii) kondisi apakah debitor dalam keadaan mampu atau tidak mampu membayar.

    Penulis berpandangan bahwa Putusan No. 1262 K/Pdt.Sus-Pailit/2022 dapat menjadi referensi bagi majelis hakim dalam memutus pengesahan rencana perdamaian, khususnya, apabila debitor merupakan yayasan dan memiliki fungsi sosial kepada masyarakat.
Dodi Roikardi

Sources

  1. Pasal 222 ayat (2) UU Kepailitan dan PKPU menyatakan bahwa Debitur yang tidak dapat atau memperkirakan tidak akan dapat melanjutkan membayar utang-utangnya yang sudah jatuh waktu dan dapat ditagih, dapat memohon penundaan kewajiban pembayaran utang, dengan maksud untuk mengajukan rencana perdamaian yang meliputi tawaran pembayaran sebagian atau seluruh utang kepada Kreditor.
  2. Badan Litbang Diklat Hukum dan Peradilan Mahkamah Agung Republik Indonesia, “Landmark Decisions 2023” dikeluarkan pada tanggal 13 Maret 2024, tersedia pada https://bldk.mahkamahagung.go.id/id/puslitbang-id/landmark-decision.html, diakses pada tanggal 28 Maret 2024.
  3. Prof. Dr. Sutan Remy Sjahdeini, S.H., “Sejarah, Asas, dan Teori Hukum Kepailitan”, Edisi Kedua (Jakarta: Prenadamedia Group: 2016), halaman 411.
  4. Pasal 222 ayat (2) UU Kepailitan dan PKPU.
  5. Pasal 223 jo. Pasal 2 ayat (3) UU Kepailitan dan PKPU.
  6. Pasal 223 jo. Pasal 2 ayat (4) UU Kepailitan dan PKPU.
  7. Pasal 223 jo. Pasal 2 ayat (5) UU Kepailitan dan PKPU.
  8. Pasal 222 ayat (1) UU Kepailitan dan PKPU.
  9. Pasal 222 ayat (2) dan (3) UU Kepailitan dan PKPU.
  10. Pasal 8 ayat (4) UU Kepailitan dan PKPU.
  11. Pasal 269 dan 270 UU Kepailitan dan PKPU.
  12. Pasal 271 – 276 UU Kepailitan dan PKPU.
  13. Pasal 278 – 284 UU Kepailitan dan PKPU.
  14. Pasal 285 UU Kepailitan dan PKPU.
  15. Pasal 286 UU Kepailitan dan PKPU.
  16. Op.cit, halaman 34.
  17. Op.cit, halaman 35 – 36.
  18. Putusan No. 1262 K/Pdt.Sus-Pailit/2022, halaman 8.
  19. Emphasized by the author.
  20. Op.cit, halaman 35.
Read Also  Asas Ketertiban Umum dalam Pelaksanaan Perjanjian