Miskah Banafsaj

Konstruksi berkelanjutan di Indonesia kini semakin mendapat perhatian seiring upaya industri untuk menyeimbangkan pesatnya pembangunan infrastruktur dengan tanggung jawab terhadap lingkungan. Pendekatan ini mendorong keberlanjutan melalui penguatan regulasi, inovasi, serta inisiatif pembangunan jangka panjang.

Kerangka Regulasi dan Data terkait Industri Jasa Konstruksi

Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2017 tentang Jasa Konstruksi (“UU Jasa Konstruksi”) mendefinisikan pekerjaan konstruksi sebagai keseluruhan atau sebagian kegiatan yang meliputi pembangunan, pengoperasian, pemeliharaan, pembongkaran, dan pembangunan- kembali suatu bangunan.

Seiring dengan meningkatnya aktivitas ekonomi, kebutuhan infrastruktur, globalisasi, dan aspek-aspek lainnya, industri konstruksi juga semakin berkembang. Berdasarkan data Indikator Konstruksi yang dikeluarkan oleh Badan Pusat Statistik Indonesia, Triwulan II-2025, indeks nilai konstruksi yang diselesaikan mencerminkan peningkatan yang signifikan dibandingkan periode yang sama di tahun sebelumnya. Laporan tersebut juga mencatat bahwa kondisi ini telah mencerminkan “semakin kuatnya dinamika sektor konstruksi.” Terlebih, melalui Siaran Pers Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian tertanggal 8 Mei 2025, dinyatakan juga bahwa industri konstruksi merupakan salah satu industri yang memberikan kontribusi terbesar terhadap ekonomi nasional.

Perkembangan industri konstruksi tidak dapat dipungkiri telah memberikan dampak yang signifikan, terlebih terhadap lingkungan hidup. Berdasarkan Global Status Report for Buildings and Construction 2024-2025 yang diterbitkan oleh Program Lingkungan Hidup Perserikatan Bangsa-Bangsa (United Nation Environment Programme/UNEP) dan Global Alliance for Buildings and Construction (GlobalABC), industri konstruksi bertanggung jawab atas setidaknya 34% dari emisi karbon dioksida global. Bahkan dampaknya di Indonesia sendiri, melalui Siaran Pers Kementerian Lingkungan Hidup/Badan Pengendalian Lingkungan Hidup tertanggal 3 Juni 2025, lebih lanjut telah melaporkan bahwa debu dari aktivitas konstruksi berkontribusi sekitar 13% dari pencemaran udara di Jabodetabek.

Baca Juga: Mereformasi Sanksi dan Pengawasan Lingkungan Hidup: Poin-Poin Penting dan Ketidakselarasan apakah Persetujuan Lingkungan Disyaratkan oleh Persetujuan Bangunan Gedung

Untuk menjaga mencegah dampak aktivitas konstruksi yang lebih parah, maka penting untuk menerapkan apa yang dinamakan sebagai konstruksi berkelanjutan. Konsep konstruksi berkelanjutan ini  mulai diperkenalkan oleh PBB melalui Agenda 21 pada tahun 1992, sebagaimana kemudian dikembangkan dalam Agenda 2030 untuk Pembangunan Berkelanjutan. Meskipun PBB menyatakan, bahwa sebagai suatu konsep yang terus berkembang, tidak ada definisi universal untuk konstruksi berkelanjutan, konstruksi berkelanjutan itu sendiri pada dasarnya merujuk pada aktivitas konstruksi yang mengintegrasikan perkembangan lingkungan, ekonomi, dan sosial untuk mencapai keberlanjutan jangka panjang.

Memperkuat Kerangka Regulasi mengenai Jasa Konstruksi Keberlanjutan

Indonesia juga telah mengatur konsep konstruksi berkelanjutan ini. Merujuk pada Peraturan Pemerintah Nomor 14 Tahun 2021 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 22 Tahun 2020 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2017 tentang Jasa Konstruksi (“PP Jasa Konstruksi”)  jo. Peraturan Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Nomor 9 Tahun 2021 tentang Pedoman Penyelenggaraan Konstruksi Berkelanjutan (“PERMEN PUPR tentang Konstruksi Berkelanjutan”), konstruksi berkelanjutan dinyatakan sebagai sebuah pendekatan dalam penyelenggaraan jasa konstruksi untuk mendirikan bangunan gedung dan/atau bangunan sipil dengan memenuhi prinsip berkelanjutan, sumber daya, dan siklus hidup bangunan tersebut yang memenuhi tujuan ekonomi, sosial, dan lingkungan pada masa ini dan yang akan datang.

 

“Konstruksi berkelanjutan itu sendiri pada dasarnya merujuk pada aktivitas konstruksi yang mengintegrasikan perkembangan lingkungan, ekonomi, dan sosial untuk mencapai keberlanjutan jangka panjang.”

Akan tetapi, meskipun telah diatur, implementasi konstruksi berkelanjutan di Indonesia pada praktiknya masih jauh untuk dapat dikatakan terlaksana secara optimal. Mulai dari kelemahan regulasi hingga permasalahan efektivitasnya di lapangan, masih terdapat berbagai tantangan yang menghambat penerapan konstruksi berkelanjutan ini di Indonesia.

Jasa Konstruksi Keberlanjutan

Aspek-Aspek Utama Konstruksi Berkelanjutan

Perlu dicatat bahwa aspek dari konstruksi berkelanjutan bukan hanya lingkungan saja, tapi penting untuk memperhatikan aspek-aspek lainnya. Sejalan dengan tujuan dari konstruksi berkelanjutan yang disampaikan pada dokumen Agenda 21, yaitu untuk mengadopsi kebijakan dan teknologi serta bertukar informasi tentang hal-hal tersebut guna memungkinkan sektor konstruksi mencapai tujuan pembangunan permukiman manusia, sambil menghindari dampak sampingan yang berbahaya terhadap kesehatan manusia dan terhadap biosfer, dan, kedua, untuk meningkatkan kapasitas sektor konstruksi dalam menciptakan lapangan kerja. Dalam hal ini, pemerintah juga harus bekerja dalam kolaborasi yang erat dengan sektor swasta dalam mencapai tujuan-tujuan ini.

Baca Juga: Menyikapi ESG di Indonesia: Kekosongan Kerangka Regulasi

Di Indonesia sendiri, pemahaman tersebut sejalan dengan apa yang disampaikan dalam PP Jasa Konstruksi dan PERMEN PUPR tentang Konstruksi Berkelanjutan. Bahwa konstruksi berkelanjutan harus diterapkan berdasarkan prinsip-prinsip yang memastikan ekonomi yang layak dan dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat, menjaga pelestarian lingkungan, dan mengurangi disparitas sosial masyarakat. Secara lebih spesifik, ruang lingkup  dari prinsip berkelanjutan yang dimaksudkan dalam konstruksi berkelanjutan, yaitu:

  • Kesamaan tujuan, pemahaman, serta rencana tindak;
  • Pemenuhan standar keamanan, keselamatan, kesehatan, dan keberlanjutan;
  • Pengurangan penggunaan sumber daya, baik berupa lahan, material, air, sumber daya alam maupun sumber daya manusia;
  • Pengurangan timbulan limbah, baik fisik maupun nonfisikl;
  • Penggunaan kembali sumber daya yang telah digunakan sebelumnya;
  • Penggunaan sumber daya hasil siklus ulang;
  • Perlindungan dan pengelolaan terhadap lingkungan hidup melalui upaya pelestarian;
  • Mitigasi risiko keselamatan, kesehatan, perubahan iklim, dan bencana;
  • Orientasi kepada siklus hidup;
  • Orientasi kepada pencapaian mutu yang diinginkan;
  • Inovasi teknologi untuk perbaikan yang berlanjut; dan
  • Dukungan kelembagaan, kepemimpinan, dan manajemen dalam implementasi.

Selain memberikan ruang lingkup dan tujuan utama konstruksi berkelanjutan, kerangka kerja ini juga menyoroti perbedaannya dengan konstruksi konvensional. Sebagaimana, yang membedakan konstruksi berkelanjutan adalah implementasinya yang lebih berfokus pada aspek ekonomi, sosial, dan lingkungan, daripada hanya pada pertimbangan struktural atau fungsional yang umum dalam konstruksi konvensional.

Perbedaan lainnya dengan penyelenggaraan konstruksi konvensional, yaitu terkait sistem predikat yang diberikan pada penyelenggaraan jasa konstruksi berkelanjutan. Predikat ini akan diberikan oleh Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat, berdasarkan hasil penilaian kinerja suatu proyek konstruksi berkelanjutan, mencerminkan sejauh mana bangunan tersebut telah menerapkan persyaratan teknis konstruksi berkelanjutan pada setiap tahapan penyelenggaraan, yang mana terbagi atas tiga tingkatan, yaitu:

  • Predikat Utama;
  • Predikat Madya; dan
  • Predikat Pratama.

Penilaian ini dilakukan pada setiap tahapan penyelenggaraan jasa konstruksi, yaitu mulai dari tahap perencanaan umum, pemrograman, konsultansi konstruksi, pelaksanaan konstruksi, pembangunan, pengoperasian dan pemeliharaan, hingga pembongkaran. Berdasarkan penilaian predikat terbut, maka mencerminkan bagaimana perilaku suatu kegiatan konstruksi dan kesesuaian terhadap aspek-aspek yang diterapkan dalam konstruksi berkelanjutan.

 

“Perbedaan dengan penyelenggaraan konstruksi konvensional, yaitu terkait sistem predikat yang diberikan pada penyelenggaraan jasa konstruksi berkelanjutan.”

Dengan mendapatkan predikat tersebut, hal ini akan memberikan nilai tambah dan insentif-insentif yang akan diberikan oleh pemerintah sebagai bagian dukungan dari telah diterapkannya prinsip dan konstruksi berkelanjutan, serta untuk mendorong implementasi konstruksi berkelanjutan ke depannya. Adapun di antara nilai tambah atau insentif yang dapat didapatkan ini, terutama dalam sektor pembiayaan, seperti kemudahan untuk mendapatkan akses pembiayaan berwawasan lingkungan (green fund). Selain itu, penerapan konstruksi berkelanjutan juga akan menaikkan citra perusahaan, hingga penghematan sumber daya dan beban biaya operasional bangunan.

Konstruksi Berkelanjutan di Indonesia

Implementasi Konstruksi Berkelanjutan di Indonesia

Meskipun belum banyak dilakukan, di Indonesia sendiri sudah terdapat beberapa proyek konstruksi yang menerapkan konstruksi berkelanjutan ini. Pelaksanaan konstruksi di Ibu Kota Negara (IKN) juga dinyatakan dilakukan dengan menerapkan konstruksi berkelanjutan. Hal tersebut di antaranya dilakukan dengan menggunakan material rendah emisi, berupa semen hijau yang berkarbon rendah, cat yang mampu mengurangi jejak karbon, serta material-material konstruksi hijau lainnya. Pada proyek lain, PT. Wijaya Karya (Persero), Tbk,  telah terbukti menerapkan konstruksi berkelanjutan pada beberapa proyeknya, dan mendapatkan Predikat Utama sebagai bentuk pemenuhan persyaratan teknis konstruksi berkelanjutan sesuai dengan PERMEN PUPR tentang Konstruksi Berkelanjutan.

Contoh lainnya, dengan menyoroti pada aspek lingkungan dan sosial, PT. Cipta Sanalida Utama juga telah menerapkan konstruksi berkelanjutan dalam Proyek Strategis Nasional Terminal LPG Jayapura. Di antaranya dengan menggunakan material-material yang beremisi rendah, menerapkan Terminal Automation System (TAS) yang mengoptimalkan penggunaan energi, menggunakan material daur ulang (recycle), hingga bahan material tahan ledakan  (explossion proof). Penerapan ini dinyatakan juga dengan memperhatikan dampak sosial,  dengan tujuan untuk mengurangi potensi terjadinya risiko sosial. Selain itu, mereka juga menyatakan telah mempekerjakan warga lokal yang membantu peningkatan pendapatan hingga menerapkan workplace diversity dengan mempekerjakan kaum difabel.

Praktik Konstruksi Berkelanjutan di Singapura

Ketika membandingkan penerapannya di negara lain, penerapan aktif kebijakan konstruksi berkelanjutan bukanlah hal yang baru. Di Singapura misalnya, terdapat berbagai peraturan dan kebijakan ketat yang mendorong dan memastikan keselamatan, kualitas, serta keberlanjutan dalam setiap proyek konstruksi. Sejak tahun 2005, Building and Construction Authority (“BCA”) Singapura, sebuah badan indipenden di bawah Kementerian Pembangunan Nasional Singapura (Ministry of National Development) telah menerbitkan Green Mark for Buildings Scheme yang mendorong keberlanjutan pada bangunan. Pada perkembangannya, inisiatif tersebut dikembangkan dengan Singapore Green Building Masterplan (“SGBMP”) yang pertama kali dikeluarkan pada tahun 2006.

Sebagaimana dinyatakan dalam dokumen SGBMP terbaru pada tahun 2022, SGBMP bertujuan sebagai:

“Sektor Lingkungan Terbangun hijau terkemuka yang mengurangi perubahan iklim dan menyediakan Lingkungan Terbangun yang sehat, layak huni, dan berkelanjutan untuk semua (A leading green Built Environment sector mitigating climate change and providing a healthy, livable and sustainable Built Environment for all).”

 

“Building and Construction Authority (“BCA”) Singapura, sebuah badan indipenden di bawah Kementerian Pembangunan Nasional Singapura (Ministry of National Development) telah menerbitkan Green Mark for Buildings Scheme yang mendorong keberlanjutan pada bangunan.”

Melalui SGBMP, lebih lanjut ditekankan bahwa pemerintah Singapura akan terus mendorong pembangunan konstruksi berkelanjutan hingga hal tersebut menjadi praktik umum (mainstream) di Singapura. Adapun tiga pokok tujuan yang ingin dicapai melalaui SGBMP, yaitu:

  • 80% bangunan berdasarkan Luas Lantai Kotor (“Gross Floor Area/GFA”) akan menjadi hijau pada tahun 2030;
  • 80% pembangunan baru berdasarkan GFA akan menjadi bangunan Super Low Energy (SLE) mulai tahun 2030; dan
  • Peningkatan efisiensi energi sebesar 80% (dari tingkatan pada tahun 2005) untuk bangunan hijau terbaik di kelasnya pada tahun 2030.

Untuk mendukung implementasi dan tujuan tersebut, pemerintah Singapura juga akan memberikan dan mendukung dengan skema-skema insentif, yaitu di antaranya melalui:

  • Green Mark Incentive Scheme for Existing Buildings0 (GMIS-EB 2.0);
  • Built Environment Transformation GFA Incentive Scheme; dan
  • Enhanced Green Buildings Innovation Cluster funding (GBIC 2.0).
Implementasi Konstruksi Berkelanjutan di Indonesia

Tantangan terhadap Implementasi Konstruksi Berkelanjutan di Indonesia

Meninjau kebijakan konstruksi berkelanjutan yang diterapkan di Singapura, maka jelas bahwa pemerintah Singapura telah memiliki tujuan-tujuan  konkret dan visi yang jelas, dalam mengimplementasi praktik konstruksi berkelanjutan. Jika dibandingkan, kondisi implementasi konstruksi berkelanjutan di Indonesia, jelas jauh dari kata optimal. Masih banyak terdapat celah-celah dari segi regulasi dan kebijakan yang diberikan oleh Pemerintah Indonesia, yang seharusnya terus dikembangkan sebagai bentuk langkah konkret yang mendukung implementasi konstruksi berkelanjutan yang lebih serius.

Meskipun memang telah terdapat regulasi-regulasi yang mendukung penerapan konstruksi berkelanjutan, namun pada kenyataannya, berbagai regulasi tersebut, mulai dari UU Jasa Konstruksi, PP Jasa Konstruksi, hingga PERMEN PUPR tentang Konstruksi Berkelanjutan, dapat dikatakan tidak memadai. Belum memadainya ketentuan-ketentuan yang diperlukan ini, sebenarnya tercermin dari fakta bahwa masih sedikit proyek konstruksi saat ini yang mengadopsi konsep pembangunan berkelanjutan secara keseluruhan. Terlebih, hal ini juga karena sepertinya, keberlanjutan belum menjadi fokus utama dalam industri konstruksi Indonesia pada saat ini.

 

“Masih banyak terdapat celah-celah dari segi regulasi dan kebijakan yang diberikan oleh Pemerintah Indonesia, yang seharusnya terus dikembangkan.”

Selain itu, implementasi yang maksimal atas konstruksi berkelanjutan juga terus menghadapi berbagai tantangan, termasuk yang timbul dari kerangka peraturannya itu sendiri. Seperti ketika merujuk pada Pasal 3 PERMEN PUPR tentang Konstruksi Berkelanjutan, dinyatakan bahwa:

“Penyelenggaraan Jasa Konstruksi untuk mendirikan bangunan gedung dan/atau bangunan sipil harus menerapkan Konstruksi Berkelanjutan.”

Penggunaan kata “harus” pada ketentuan tersebut di atas seharusnya menunjukkan adanya kewajiban yang harus dilakukan oleh para penyelenggara jasa konstruksi untuk mengimplementasikan konstruksi berkelanjutan. Namun kenyataannya, tidak ada sanksi atau akibat apa pun apabila ketentuan ini tidak dipenuhi. Sehingga, tidak jelas apakah pemerintah sebenarnya ingin menjadikan kebijakan ini sebagai kewajiban atau hanya bersifat sukarela saja. Karena dengan kondisi yang ada sekarang, artinya ketika penyelenggaraan suatu proyek konstruksi tidak menerapkan konstruksi berkelanjutan, yang mana seharusnya wajib, tindakan tersebut tidak akan menimbulkan akibat hukum apa pun kepada para penyelenggara jasa konstruksi terkait.

Terlebih insentif yang didapatkan apabila implementasi konstruksi berkelanjutan juga belum jelas. Padahal kenyataannya, implementasi konstruksi berkelanjutan yang membutuhkan pelaksanaan aspek-aspek yang lebih apabila dibandingkan dengan pelaksanaan konstruksi pada umumnya. Dengan “extra steps” yang harus dilakukan, tidak dapat dipungkiri bahwa para penyelenggara jasa konstruksi akan membutuhkan tenaga, sumber daya, dan biaya lebih ketika ingin betul-betul menerapkan konstruksi berkelanjutan. Sehingga, dukungan pemerintah akan menjadi sangat penting. Dengan skema kebijakan insentif yang jelas dan juga menguntungkan para penyelenggara jasa konstruksi, seperti apa yang telah diterapkan oleh pemerintah Singapura, maka hal ini juga lama kelamaan akan semakin mendorong optimalisasi terlaksananya konstruksi berkelanjutan di Indonesia.

Memanifestasikan Jasa Konstruksi Berkelanjutan

Memanifestasikan Jasa Konstruksi Berkelanjutan

Berbagai dampak dari hasil kegiatan konstruksi, telah mendorong negara-negara untuk mengimplementasikan konstruksi berkelanjutan. Hal ini dilakukan demi mendorong perkembangan industri sektor konstruksi tanpa harus mengorbankan aspek ekonomi, sosial, dan lingkungan. Untuk mencapai tujuan ini, pemerintah Indonesia perlu menunjukkan komitmen yang lebih serius dalam mendorong implementasi konstruksi berkelanjutan, termasuk melalui langkah-langkah yang konkret dengan tujuan yang jelas.

Komitmen pemerintah, seharusnya mulai ditunjukkan dengan kondisi regulasi yang memadai. Namun faktanya, bahkan keberadaan regulasi, masih belum jelas ke mana arah tujuan pemerintah Indonesia terhadap kebijakan ini. Selain itu, penetapan kebijakan insentif-insentif juga menjadi penting untuk mendorong konstruksi berkelanjutan. Tanpa adanya dukungan, kebijakan dan langkah-langkah konkret oleh pemerintah, maka konstruksi berkelanjutan di Indonesia hanya akan terus menjadi suatu konsep, tanpa adanya implementasi nyata yang efektif, yang bukan hanya akan menguntungkan industri konstruksi, namun juga terhadap lingkungan, masyarakat, dan pertumbuhan ekonomi.


Author

Miskah Banafsaj is an associate at Leks&Co. She holds a law degree from Universitas Indonesia. Throughout her studies, she was actively involved in student organizations and participated in various law competitions. She has also previously worked as an intern at several reputable law firms. At this firm, she is involved in doing legal research, case preparation, and assists with ongoing matters.


Editor

Dr. Eddy Marek Leks

Dr Eddy Marek Leks, FCIArb, FSIArb, is the founder and managing partner of Leks&Co. He has obtained his doctorate degree in philosophy (Jurisprudence) and has been practising law for more than 20 years and is a registered arbitrator of  BANI Arbitration Centre, Singapore Institute of Arbitrators, and APIAC. Aside to his practice, the author and editor of several legal books. He led the contribution on the ICLG Construction and Engineering Law 2023 and ICLG International Arbitration 2024 as well as Construction Arbitration by Global Arbitration Review. He was requested as a legal expert on contract/commercial law and real estate law before the court.


Contact Us for Inquiries

If you have any queries, you may contact us through query@lekslawyer.com, visit our website www.lekslawyer.com or visit our blog.lekslawyer.com, real estate law blogs i.e., www.hukumproperti.com and www.indonesiarealestatelaw.com


Sources:

  • Law Number 2 of 2017 on Construction Services
  • Government Regulation Number 14 of 2021 on the Amendment to Government Regulation Number 22 of 2020 on the Implementation of Law Number 2 of 2017 on Construction Services;
  • Ministry of Public Works and Public Housing Number 9 of 2021 on Guidelines of Sustainable Construction Implementation
  • United Nations Sustainable Development, United Nations Conference on Environment and Development. Agenda 21: Programme Action for Sustainable Development. UNCED, 1992
  • United Nations General Assembly. Transforming our world: the 2030 Agenda for Sustainable Development. New York: United Nations, 2015
  • United Nations, United Nations Environment Programme and Global Alliance for Buildings and Construction. Global Status Report for Buildings and Construction 2024/2025. Paris: United Nation, 2025
  • Indonesian Central Bureau of Statistics. Construction Indicators Quarter II-2025. Jakarta: BPS, 2025
  • Building Construction Authority. Sustainable Construction: Materials for Buildings. Singapore: BCA, 2007
  • Building Construction Authority. Singapore Green Building Masterplan. Ed. 4. Singapore: BCA, 2022
  • United Nations, United Nations Department of Economic and Social Affairs Division for Sustainable Development. Buildings and construction as tools for promoting more sustainable patterns of consumption and production. Sustainable Development Innovation Briefs. 2010
  • Ministry of Public Works and Public Housing, Directorate General of Construction Development. Taksonomi Hijau dalam Mendukung Konstruksi Berkelanjutan. binakonstruksi.pu.go.id. 2021. Available at https://binakonstruksi.pu.go.id/publikasi/karya-tulis/taksonomi-hijau-dalam-mendukung-konstruksi-berkelanjutan/
  • Coordinating Ministry for Economic Affairs. Tetap Kuatnya Fundamental Perekonomian Indonesia Dorong Pertumbuhan yang Solid. ekon.go.id. 2025. Available at https://www.ekon.go.id/publikasi/detail/6359/tetap-kuatnya-fundamental-perekonomian-indonesia-dorong-pertumbuhan-yang-solid
  • Ministry of Environment/Environmental Control Agency. Jabodetabek Alarm Polusi: KLH/BPLH Bergerak Serentak, Tak Ada Ruang Bagi Pencemar Udara. kemenlh.go.id. 2025. Available at https://kemenlh.go.id/news/detail/jabodetabek-alarm-polusi-klhbplh-bergerak-serentak-tak-ada-ruang-bagi-pencemar-udara
  • Eqqi Syahputra. CNBC Indonesia. Falga Group Ungkap Urgensi Konstruksi Berkelanjutan. cnbcindonesia.com. 2023. Available at https://www.cnbcindonesia.com/news/20230410202452-4-428716/falga-group-ungkap-urgensi-konstruksi-berkelanjutan
  • WIKA. Wika Berhasil Raih Predikat Utama Konstruksi Berkelanjutan di Dua Proyek Strategis Nasional. wika.co.id. 2024. Available at https://www.wika.co.id/id/media-dan-informasi/siaran-pers/wika-utama-pupr-psn
  • Aji Cakti. PUPR: Penerapan green material di pembangunan IKN kurangi emisi karbon. antaranews.com. 2024. Available at https://www.antaranews.com/berita/4068393/pupr-penerapan-green-material-di-pembangunan-ikn-kurangi-emisi-karbon