Dr. Eddy M. Leks

Unsur-Unsur Keputusan Tata Usaha Negara

Pasal 87 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan (“UU Administrasi Pemerintahan”) menyatakan bahwa Keputusan Tata Usaha Negara (“KTUN”) harus dimaknai sebagai:

  • Penetapan tertulis yang juga mencangkup tindakan faktual;
  • Keputusan Badan dan/atau Pejabat Tata Usaha Negara di lingkungan eksekutif, legislatif, yudikatif, dan penyelenggara negara lainnya;
  • Berdasarkan ketentuan perundang-undangan dan AUPB;
  • Bersifat final dalam arti lebih luas;
  • Keputusan yang berpotensi menimbulkan akibat hukum; dan/atau
  • Keputusan yang berlaku bagi warga masyarakat.

Untuk suatu KTUN dapat dinyatakan sah, maka harus memenuhi unsur-unsur yang terdapat dalam ketentuan tersebut. Salah satunya unsur yang harus dipenuhi dan yang akan menjadi fokus pembahasan dalam tulisan ini adalah “finalitas” dalam arti yang lebih luas.

Baca Juga: Persyaratan Keputusan Tata Usaha Negara di Indonesia: Keputusan yang Tidak Memenuhi Syarat sebagai KTUN

Dalam penjelasannya, dinyatakan lebih lanjut bahwa sifat “final” ini dimaknai secara lebih luas dalam UU Administrasi Pemerintahan, yang berarti, mencakup keputusan yang diambil alih oleh atasan pejabat yang berwenang.

Meskipun begitu, sebelumnya, dalam Penjelasan Pasal 1 angka 3 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara (“UU Peradilan TUN”), telah dinyatakan bahwa:

“Bersifat final artinya sudah definitif dan karenanya dapat menimbulkan akibat hukum. Keputusan yang masih memerlukan persetujuan instansi atasan atau instansi lain belum bersifat final karenanya belum dapat menimbulkan suatu hak atau kewajiban pada pihak yang bersangkutan.”

Apabila membandingkan konsep ‘final’ dalam UU Administrasi Pemerintahan dengan UU Peradilan TUN, maka terlihat terdapat perluasan dalam pengertiannya. Perluasan pengertian ini juga lebih lanjut ditegaskan, melalui Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 4 Tahun 2016 (“SEMA 4/2016”), yang menyatakan bahwa KTUN yang bersifat final dalam arti luas, yaitu KTUN yang sudah menimbulkan akibat hukum, meskipun masih memerlukan persetujuan dari instansi atasan atau instansi lain.

Baca Juga: Telaah Singkat Urgensi Legal Standing dalam Gugatan Tata Usaha Negara

Pemahaman terkait aspek final dalam KTUN, dapat memicu perdebatan. Perluasan makna mengenai KTUN yang bersifat final sering kali memerlukan penafsiran lebih lanjut dari hakim, dan perbedaan pandangan di antara hakim bukanlah menjadi hal yang jarang terjadi ketika menentukan apakah suatu KTUN memenuhi unsur finalitas atau tidak.

Hukum Tata Usaha Negara Indonesia

Menentukan Finalitas dalam Putusan Tata Usaha Negara

Bagaimana hakim memaknai sifat “final” dalam suatu KTUN? Untuk mengkaji permasalahan ini lebih lanjut, akan dilakukan analisis melalui studi kasus terhadap Putusan Nomor 482 K/TUN/2016.

 

“KTUN yang bersifat final dalam arti luas, yaitu KTUN yang sudah menimbulkan akibat hukum, meskipun masih memerlukan persetujuan dari instansi atasan atau instansi lain.”

Dalam kasus hukum ini, suatu laporan hasil audit investigasi yang menyatakan telah terjadi kerugian negara dianggap sebagai suatu KTUN yang antara lain telah memenuhi sifat final.

Penggugat pada pokoknya mendalilkan agar objek sengketa berupa laporan hasil audit investigasi yang dikeluarkan oleh Tergugat, dinyatakan batal dan tidak sah, karena telah mengakibatkan kerugian kepada Penggugat. Sebagaimana dari proses terbitnya objek sengketa tersebut, Tergugat tidak memberi Penggugat kesempatan untuk membela diri sebelum penerbitannya.

Baca Juga: Cacat Wewenang dalam Yurisprudensi Tata Usaha Negara

Dalam salah satu poin eksepsinya, Tergugat pada pokoknya menyatakan bahwa objek sengketa tersebut masih memerlukan tindak lanjut dari atasan, karena sifatnya hanya rekomendasi bagi Pegawai Negara Sipil (PNS)/Aparatur Sipil Negara (ASN) yang masih aktif dan bukan kepada Penggugat, sehingga tidak memenuhi syarat final.

Pada tingkat pertama, Judex Facti melalui Putusan Nomor 176/G/2015/PTUN-JKT, menyatakan bahwa objek sengketa tersebut tidak memenuhi unsur final, sebagaimana:

“… objek sengketa walaupun sifatnya konkret karena nyata adanya dan individual… namun tidak memenuhi unsur final karena berupa pernyataan kesimpulan dan rekomendasi kepada Direktur Jendral Pajak untuk menjatuhkan hukuman disiplin terhadap beberapa pegawainya yang diduga melakukan pelanggaran disiplin.”

Bahkan pada tingkat banding, putusan tersebut kemudian dikuatkan, sebagaimana dalam pertimbangan Putusan Nomor 112/B/2016/PT.TUN.JKT:

“Dilihat dari tujuannya laporan audit investigasi itu, merupakan suatu bukti pelaksanaan tugas dari investigator dan tidak secara serta merta hasil investigasi itu dapat menimbulkan suatu akibat hukum. Selanjutnya, laporan audit investigasi ini tidak bersifat final, jadi tidak memenuhi kriteria yang ditentukan dalam Pasal 1 angka 9 Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009.”

Judex Facti pada tingkat pertama dan banding telah menyatakan bahwa gugatan Penggugat tidak dapat diterima, karena KTUN yang menjadi objek sengketa tidak menimbulkan akibat hukum dan tidak bersifat final, melalui pertimbangan yang didasarkan pada penafsiran final dalam UU Peradilan TUN.

Baca Juga: Cacat Prosedur dalam Yurisprudensi Tata Usaha Negara

Meskipun begitu, selanjutnya putusan tersebut kemudian dibatalkan pada tingkat kasasi dan Judex Juris, dengan mempertimbangkan pada ketentuan dalam UU Administrasi Pemerintahan, menyatakan bahwa objek sengketa telah memenuhi unsur final. Sebagaimana Judex Juris dalam Putusan No. 482 K/TUN/2016 mempertimbangkan:

“Bahwa istilah final harus dimaknai bahwa Keputusan Tata Usaha Negara itu sudah menimbulkan akibat hukum bagi pihak yang dikenai keputusan ataupun pihak ketiga yang tidak dikenai keputusan (vide Pasal 87 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan).”

Kemudian, Judex Juris mempertimbangkan, sebagaimana berikut:

“Bahwa dalam perkara a quo Laporan Hasil Audit Investigasi yang menyatakan telah terjadi kerugian keuangan negara, secara futuristik sesuai jiwa Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan dapat merugikan kepentingan Penggugat, patut dipandang telah menimbulkan akibat hukum bagi Penggugat, oleh karena itu memenuhi unsur final …”

 

“Istilah final harus dimaknai bahwa Keputusan Tata Usaha Negara itu sudah menimbulkan akibat hukum”

Berbanding terbalik dengan pertimbangan Judex Facti pada tingkat pertama dan banding, Judex Juris memaknai arti “final” dalam konteks “menimbulkan akibat hukum” tidak perlu akibatnya timbul secara langsung, melainkan juga dapat secara “futuristik”. Dengan kata lain, “akibat hukum” itu bisa timbul secara langsung tetapi juga bisa timbul di kemudian hari (tidak secara langsung).
Penjelasan UU Peradilan TUN sebenarnya telah mengakomodasi hal itu dengan frasa “dapat menimbulkan akibat hukum.”

Baca Juga: Cacat Substansi dalam Yurisprudensi Tata Usaha Negara

Finalitas dalam Keputusan Tata Usaha Negara

Memaknai Unsur Final dalam Putusan Tata Usaha Negara

Adanya perbedaan pemaknaan terhadap unsur “final” pada suatu KTUN pada berbagai tingkatan pengadilan, sebagaimana pada yurisprudensi di atas,  mencerminkan bahwa unsur final dalam KTUN dapat menimbulkan perdebatan dalam ranah hukum dan sengketa tata usaha negara.  Akan tetapi, yurisprudensi yang dibahas dalam artikel ini menunjukkan bahwa suatu akibat hukum seharusnya tidak hanya dilihat dari akibat hukum yang langsung saja, namun juga akibat hukum yang tidak langsung atau bersifat futuristik. Berdasarkan SEMA 4/2016 terkait Objek Gugatan/Permohonan dalam Rumusan Kamar Tata Usaha Negara, pemahaman ini seharusnya tetap berlaku meskipun suatu KTUN mungkin masih memerlukan persetujuan dari instansi atasan atau instansi lainnya.


Author

Dr. Eddy Marek Leks

Dr Eddy Marek Leks, FCIArb, FSIArb, is the founder and managing partner of Leks&Co. He has obtained his doctorate degree in philosophy (Jurisprudence) and has been practising law for more than 20 years and is a registered arbitrator of  BANI Arbitration Centre, Singapore Institute of Arbitrators, and APIAC. Aside to his practice, the author and editor of several legal books. He led the contribution on the ICLG Construction and Engineering Law 2023 and ICLG International Arbitration 2024 as well as Construction Arbitration by Global Arbitration Review. He was requested as a legal expert on contract/commercial law and real estate law before the court.


Co-authored by

Miskah Banafsaj

Miskah Banafsaj is an intern at Leks&Co. She holds a law degree from Universitas Indonesia. Throughout her studies, she was actively involved in student organizations and participated in various law competitions. She has also previously worked as an intern at several reputable law firms. At this firm, she is involved in doing legal research, case preparation, and assists with ongoing matters.


Contact Us for Inquiries

If you have any queries, you may contact us through query@lekslawyer.com, visit our website www.lekslawyer.com or visit our blog.lekslawyer.com, real estate law blogs i.e., www.hukumproperti.com and www.indonesiarealestatelaw.com


Sources:

  • Law Number 30 of 2014 on Government Administrative.
  • Law Number 51 of 2009 on the Second Amendment of Law Number 5 of 1986 on State Administrative Court.
  • Supreme Court Circular Letter Number 4 of 2016.
  • Supreme Court Decision Number 482 K/TUN/2016.
  • Jakarta State Administrative High Court Decision Number 112/B/2016/PT.TUN.JKT.
  • Jakarta State Administrative Court Decision Number 176/G/2015/PTUN-JKT.